Trimakasih ku, kuucapkan… pada guruku yang tulus… ilmu yang berguna slalu dilimpahkan… untuk bekalku nanti ”
Lagu ini selalu melantun dimulutku saat membuat tulisan tentang pahlawan tanpa tanda jasa yang kujadikan judul tulisan ini, ya… Ibu Doorje Seto yang kerap ku panggil mamie. Ibu yang semangat hidupnya tidak bisa ku ungkapkan dengan kata-kata, guru yang pengabdiannya pada sekolah bangsa ini lebih dari 25 tahun semenjak beliau mengalami gagal ginjal di tahun 1982, selesai melahirkan anak satu-satunya Meri chan. Dan akibat gagal ginjal tersebut pula lah 3 kali dalam seminggu beliau harus cuci darah ke rumah sakit. 25 tahun lamanya beliau tak bosan mempertahankan hidupnya dengan cara mengeluarkan darah dari tubuhnya dan di cuci di dalam tabung lalu dimasukkan lagi ke tubuh beliau. Hanya puji syukur kepada Tuhan yang maha esa yang dapat ku ucapkan setiap kali ku dengar cerita sang mamie memperjuangkan hidup beliau.
Kaget tak dapat ku elakkan saat melihat foto mamie ketika kami mengurus kursi roda yang akan mamie pakai di bandara menuju pesawat. Konon katanya 25 tahun yang lalu berat badan mamie 90 kg dengan tinggi 165 cm. wew, besar sekali beda dengan mamie yang kulihat sekarang. Dulu badan mamie berisi, muka mamie gemuk, dan bahunya tegap.
Sebelum mengajar di SRIT dan mengalami gagal Ginjal, Mamie bekerja di KBRI di bagian Imigrasi. Namun karena harus 3 kali cuci darah dalam seminggu maka mamie pensiun dari KBRI dan mendedikasikan diri sebagai seorang guru. Mamie adalah putra asli Indonesia dari Ambon Manise.
Satu kalimat mamie yang membuat ku menangis yang ku sembunyikan ketika antri menunggu giliran di panggil ke counter ticketing. Saat itu ada seorang kenalan mamie secara tidak sengaja bertemu di air por yang juga lagi antri, dia bertanya ” ses Doorje nampak sehat sekali, masih cuci darah???” lalu dengan senyuman mamie menjawab ” kalau tidak cuci darah saya mati donk sekarang, hanya itu satu2 nya cara agak saya masih bisa hidup”. Air mata ku langsung berlinang dan ku larikan ke belakang. Ku tunggu merah mukaku mereda baru ku palingkan lagi muka ke beliau, namun yang namanya orang tua gak mungkin gak tau kalau kita menyembunyikan sesuatu. Beliau tersenyum padaku, lalu ku raih tangan mami dan kucium. Tidak ada kata yang terucap dari mulut kami, hanya bahasa tubuh yang menyatakan cinta.
Mamie dan aku beda keyakinan. Mamie baragama Nasrani dan aku seorang Muslim, namun tak pernah ku rasakan perbedaan itu dari awal ku bertemu mamie, kasih sayangnya padaku sangat tulus dan dapat ku rasakan, perhatiannya pada guru-guru sesama mengajar sangat penuh, serta pengabdiannya pada sekolah RI Tokyo ini dia anggap sebagai wujud cintanya pada Indonesia.
Sempat terbersit ragu di hatiku saat awalnya mamie mengatakan akan pulang ke Indonesia, karena ku tau kecanggihan peralatan medis di Indonesia belum bisa menyamai Jepang, namun kata mamie beliau juga pernah pulang 5 tahun yang lalu dan pernah juga cuci darah di Indonesia. Selain itu Ibunda beliau yang saat ini berusia 80 tahun, tengah mengalami sakit karena umurnya yang sudah tua. Saat ini mamie Doorje umurnya 60 tahun karena beliau lahir 14 July 1949. Beda 10 tahun dari mama ku (mama Upik Manis) di Indonesia.
1 minggu yang lalu masih jelas terbayang di ingatan ku kecekatan tangan beliau merangkai bunga (ikegami), dan gaya beliau memimpin lagu Hymne Guru di perpisahan bersama 5 guru SRIT. Yaitu Pak Wahyudi Purnomo, Pak Ujang Fahmi Abdillah, Pak Budi Handoyo ( beliau ber-3 sekarang telah di Indonesia), lalu Ibu Doorje Seto sendiri, dan bu Mulida ( yang juga punya cerita panjang yang tak kalah serunya dengan mamie doorje) InsyaAllah akan ku ceritakan nanti kisahnya.
Ada iktibar yang ku raih dari pengalaman sang mamie yaitu:
1) jangan sia-siakan nikmat Tuhan YME yang telah di titipkan pada kita, ingat lima perkara sebelum datang lima perkara yang salah satunya adalah ingat sehat sebelum sakit.
2) apabila akhirnya takdir Tuhan tak dapat terelakkan dan kita mengalami sesuatu yang di luar dugaan kita, maka tetaplah semangat dalam mempertahan kan hidup kita, jangan pernah menyerah karena hidup hanya sekali maka harus berarti dan mengabdi.
3) Ikhlas dalam melakukan apa pun dan selalu baik pada setiap manusia, tidak peduli sukunya apa, agamanya beda, Ras nya gak sama bahkan kita tidak satu warga negara. Karena dengan keikhlasan kita dan kebaikan kita maka saat kita membutuhkan akan banyak orang yang siap membantu di sekeliling kita.
Sepenggal kisah yang ku ceritakan tentang seorang Ibu, seorang Guru, Seorang umat Tuhannya, seorang Fighter sejati, seorang Istri dan seorang Warga negara yang memiliki sebuah tangan yang di beri gelar oleh dokter yang selama ini merawat beliau dengan nama ” One Billion Yen Hand “. Untung saja jepang menjamin kesehatan setiap orang yang ada di negara ini sehingga mamie tidak membayar pengobatannya yang tidak terhitung mahalnya tersebut. Bayangkan saja di Indonesia sekali cuci darah itu 700 ribu rupiah, ditambah satu kali suntikan di setiap kali cuci darah tersebut yang harganya tidak jauh beda yaitu 600 ribu rupiah. jadi satu kalia cuci darah mamie akan mengeluarkan 1,3 juta rupiah diluar obat. coba hitung 3 kali seminggu, lalu hitung berapa sebulan, setahun, dan 25 tahun. Tambah lagi pembuluh darah beliau yang sudah banyak yang rusak karena selalu di masukan jarum cuci darah, sehingga harus operasi untuk memasukkan bahan menyerupai pembuluh darah. Menurut mamie, beliau sudah operasi besar di badannya itu 4 kali dan operasi kecil di tangannya itu sudah 6 kali. coba kita bayangkan… Semangat hidup yang hebat dan senyuman yang menyegarkan itulah mamie.
Sambil berlari mengiringi kursi roda yang telah semakin menjauh menuju ruang tunggu dalam di airport, meneteslah airmata di pipi ini sambil ku berucap lirih ” mamie, harus kembali… cepat pulang mamie, dyan tunggu mamie di sini… di kota Tokyo tempat Tuhan mempertemukan kita, dyan sayang mamie”.
Semoga Tuhan selalu memberikan ketabahan kepada beliau dan keluarga. Amin…
Lagu ini selalu melantun dimulutku saat membuat tulisan tentang pahlawan tanpa tanda jasa yang kujadikan judul tulisan ini, ya… Ibu Doorje Seto yang kerap ku panggil mamie. Ibu yang semangat hidupnya tidak bisa ku ungkapkan dengan kata-kata, guru yang pengabdiannya pada sekolah bangsa ini lebih dari 25 tahun semenjak beliau mengalami gagal ginjal di tahun 1982, selesai melahirkan anak satu-satunya Meri chan. Dan akibat gagal ginjal tersebut pula lah 3 kali dalam seminggu beliau harus cuci darah ke rumah sakit. 25 tahun lamanya beliau tak bosan mempertahankan hidupnya dengan cara mengeluarkan darah dari tubuhnya dan di cuci di dalam tabung lalu dimasukkan lagi ke tubuh beliau. Hanya puji syukur kepada Tuhan yang maha esa yang dapat ku ucapkan setiap kali ku dengar cerita sang mamie memperjuangkan hidup beliau.
Kaget tak dapat ku elakkan saat melihat foto mamie ketika kami mengurus kursi roda yang akan mamie pakai di bandara menuju pesawat. Konon katanya 25 tahun yang lalu berat badan mamie 90 kg dengan tinggi 165 cm. wew, besar sekali beda dengan mamie yang kulihat sekarang. Dulu badan mamie berisi, muka mamie gemuk, dan bahunya tegap.
Sebelum mengajar di SRIT dan mengalami gagal Ginjal, Mamie bekerja di KBRI di bagian Imigrasi. Namun karena harus 3 kali cuci darah dalam seminggu maka mamie pensiun dari KBRI dan mendedikasikan diri sebagai seorang guru. Mamie adalah putra asli Indonesia dari Ambon Manise.
Satu kalimat mamie yang membuat ku menangis yang ku sembunyikan ketika antri menunggu giliran di panggil ke counter ticketing. Saat itu ada seorang kenalan mamie secara tidak sengaja bertemu di air por yang juga lagi antri, dia bertanya ” ses Doorje nampak sehat sekali, masih cuci darah???” lalu dengan senyuman mamie menjawab ” kalau tidak cuci darah saya mati donk sekarang, hanya itu satu2 nya cara agak saya masih bisa hidup”. Air mata ku langsung berlinang dan ku larikan ke belakang. Ku tunggu merah mukaku mereda baru ku palingkan lagi muka ke beliau, namun yang namanya orang tua gak mungkin gak tau kalau kita menyembunyikan sesuatu. Beliau tersenyum padaku, lalu ku raih tangan mami dan kucium. Tidak ada kata yang terucap dari mulut kami, hanya bahasa tubuh yang menyatakan cinta.
Mamie dan aku beda keyakinan. Mamie baragama Nasrani dan aku seorang Muslim, namun tak pernah ku rasakan perbedaan itu dari awal ku bertemu mamie, kasih sayangnya padaku sangat tulus dan dapat ku rasakan, perhatiannya pada guru-guru sesama mengajar sangat penuh, serta pengabdiannya pada sekolah RI Tokyo ini dia anggap sebagai wujud cintanya pada Indonesia.
Sempat terbersit ragu di hatiku saat awalnya mamie mengatakan akan pulang ke Indonesia, karena ku tau kecanggihan peralatan medis di Indonesia belum bisa menyamai Jepang, namun kata mamie beliau juga pernah pulang 5 tahun yang lalu dan pernah juga cuci darah di Indonesia. Selain itu Ibunda beliau yang saat ini berusia 80 tahun, tengah mengalami sakit karena umurnya yang sudah tua. Saat ini mamie Doorje umurnya 60 tahun karena beliau lahir 14 July 1949. Beda 10 tahun dari mama ku (mama Upik Manis) di Indonesia.
1 minggu yang lalu masih jelas terbayang di ingatan ku kecekatan tangan beliau merangkai bunga (ikegami), dan gaya beliau memimpin lagu Hymne Guru di perpisahan bersama 5 guru SRIT. Yaitu Pak Wahyudi Purnomo, Pak Ujang Fahmi Abdillah, Pak Budi Handoyo ( beliau ber-3 sekarang telah di Indonesia), lalu Ibu Doorje Seto sendiri, dan bu Mulida ( yang juga punya cerita panjang yang tak kalah serunya dengan mamie doorje) InsyaAllah akan ku ceritakan nanti kisahnya.
Ada iktibar yang ku raih dari pengalaman sang mamie yaitu:
1) jangan sia-siakan nikmat Tuhan YME yang telah di titipkan pada kita, ingat lima perkara sebelum datang lima perkara yang salah satunya adalah ingat sehat sebelum sakit.
2) apabila akhirnya takdir Tuhan tak dapat terelakkan dan kita mengalami sesuatu yang di luar dugaan kita, maka tetaplah semangat dalam mempertahan kan hidup kita, jangan pernah menyerah karena hidup hanya sekali maka harus berarti dan mengabdi.
3) Ikhlas dalam melakukan apa pun dan selalu baik pada setiap manusia, tidak peduli sukunya apa, agamanya beda, Ras nya gak sama bahkan kita tidak satu warga negara. Karena dengan keikhlasan kita dan kebaikan kita maka saat kita membutuhkan akan banyak orang yang siap membantu di sekeliling kita.
Sepenggal kisah yang ku ceritakan tentang seorang Ibu, seorang Guru, Seorang umat Tuhannya, seorang Fighter sejati, seorang Istri dan seorang Warga negara yang memiliki sebuah tangan yang di beri gelar oleh dokter yang selama ini merawat beliau dengan nama ” One Billion Yen Hand “. Untung saja jepang menjamin kesehatan setiap orang yang ada di negara ini sehingga mamie tidak membayar pengobatannya yang tidak terhitung mahalnya tersebut. Bayangkan saja di Indonesia sekali cuci darah itu 700 ribu rupiah, ditambah satu kali suntikan di setiap kali cuci darah tersebut yang harganya tidak jauh beda yaitu 600 ribu rupiah. jadi satu kalia cuci darah mamie akan mengeluarkan 1,3 juta rupiah diluar obat. coba hitung 3 kali seminggu, lalu hitung berapa sebulan, setahun, dan 25 tahun. Tambah lagi pembuluh darah beliau yang sudah banyak yang rusak karena selalu di masukan jarum cuci darah, sehingga harus operasi untuk memasukkan bahan menyerupai pembuluh darah. Menurut mamie, beliau sudah operasi besar di badannya itu 4 kali dan operasi kecil di tangannya itu sudah 6 kali. coba kita bayangkan… Semangat hidup yang hebat dan senyuman yang menyegarkan itulah mamie.
Sambil berlari mengiringi kursi roda yang telah semakin menjauh menuju ruang tunggu dalam di airport, meneteslah airmata di pipi ini sambil ku berucap lirih ” mamie, harus kembali… cepat pulang mamie, dyan tunggu mamie di sini… di kota Tokyo tempat Tuhan mempertemukan kita, dyan sayang mamie”.
Semoga Tuhan selalu memberikan ketabahan kepada beliau dan keluarga. Amin…
0 komentar:
Posting Komentar